Langsung ke konten utama

MAUT, YAHUDI DAN PEREMPUAN


BAB 4
MAUT, YAHUDI DAN PEREMPUAN

Semenjak kehadirannya dalam dunia kepenyairan Chairil telah bergaul dengan apa yang namanya Maut atau kematian, lihat dalam sajaknya yang berjudul Nisan, yang ditujukan buat nenekanda-nya yang telah tiada. Di tulis pada bulan oktober 1942 dan terus pertanyaan tentang kematian, menjadi pemikirannya setiap saat, hingga Chairil pun terus merumuskan pertanyaan itu dengan cara menangtang seperti dalam sajak Aku atau Semangat hingga dia berkata “Aku mau hidup seribu tahun lagi” lalu akhirnya menyerah seperti dalam sajak Derai-Derai Cemara ”hidup hanya menunda kekalahan”,lalu ”sebelum pada akhirnya kita menyerah”. Begitulah dari awal kariernya hingga akhir hayatnya terus mempermasalahkan maut.
Dalam menulis sajak, Chairil paling pandai mendalami penderitaan manusia lainnya, dan disatukannya dalam setiap langkah hidupnya. Sebab manusia tidak akan jauh menuliskan sesuatu kalau bukan dari pengalaman pribadinya sendiri.
Dalam sajaknya yang berjudul “Tak Sepadan” Chairil menuliskan “Sedang aku mengembara serupa Ahasveros” . lalu siapakah Ahasveros itu? Dia Adalah seorang yahudi dalam cerita injil, yang menolak Yesus datang kerumahnya. Oleh Tuhan kemudian orang ini dikutuk untuk menjadi pengembara abadi dan tidak pernah punya tempat tinggal (Arif Budiman, sebuah pertemuan) dalam sajak ini Chairil menjelma mejadai Ahasveros sang musafir. Kemudian dalam puisi Isa yang di tujukan buat nasrani sejati, kembali Chairil mendalami jiwanya menjelma menjadi sosok Nabi Isa “Itu tubuh/ mengucur darah/mengucur darah/” dimana sosok Isa yang disalib dan menanggung dosa seluruh umatnya. Dan mungkin Chairil pun pernah merasa bahwa diapun pernah merasakan menjadi tumbal untuk orang lain. Lalu Chairilpun menyukai dan menerjemahkan sajak yang berbau penderitaan, khususnya penderitaan Yahudi pada masa PD II saat Hitler memberikan maklumat untuk memusnahkan kaum Yahudi dari muka bumi. Seperti dalam sajaknya W. H. AUDEN, Song XXVIII atau Lagu Orang Usiran Versi Chairil Anwar. Mengapa Chairil memilih tema yang seperti ini? apakah hanya “Pokok” yang menjadi perhatian utama Chairil yang harus kita mengerti dalam menikmati sebuah karya seni, seperti dalam prosanya “Membuat sajak, melihat lukisan”. Atau mungkinkah Chairil memang seorang Yahudi? Karena sajaknya berturut turut membahas kepedihan orang yahudi dan pengorbanan Isa. Atau mungkin itu hanyalah sebuah sajak! Seperti sajaknya yang berjudul Persetujuan Dengan Bung Karno yang menjadi pembicaraan tentang isi sajak dan keterkaitannya dengan Bung Karno.
Selain orang Yahudi, Chairil pun senang membahas perempuan dan keterharuannya serta selentingan kata yang nakal. Seperti menterjemahkan sajak A Song Of The Sea atau Datang Dara, Hilang Dara, kisah seorang dara yang mencari kebebasan dan juga sajak karya Audien, Song XI, yang berisikan kenakalan dalam bersajak seperti pada baitnya seperti ini “Letakan, cintaku, kepalamu yang terkantuk/ Pada lenganku yang tidak setia.” Lalu perkataan yang nakal dan yang tak layak pun kembali Chairil terjemahkan dari sajak perjudul “HARI AKHIR OLANDA DI JAWA” oleh Sentot. “maka putri-putrimu ‘kan kami larikan/ Dan segala dara kami miliki/ Kami beristirahat di dada putih mereka” serta “Fragmen” karya yang di terjemahkan dari “Preludes to Attitude” karya Conrad Aiken. Kalimatnya yang berbunyi “Aku bisa nikmati perempuan luar batasnya, cium matanya, kucup rambutnya, isap dadanya jadi gersang.” Hingga akhirnya dengan pergaulan dengan sajak-sajak seperti itu Chairilpun semakin lantang mengucapkan kejujuran yang terasa kurang ajar dan arogan terhadap kaum wanita. Yang terasa merendahkan derajat kaum perempuan.selanjutnya akan dibahas lebih lanjut dalam bagian selanjutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membuat Sajak, Melihat Lukisan

BAB 3 MEMBUAT SAJAK, MELIHAT LUKISAN Dalam prosanya “Membuat Sajak, Melihat Lukisan”, Chairil mengajak kita untuk melihat keindahan dengan cara matanya melihat. Dan melihat nilai-nilai karya seni yang lebih bernilai dan indah dengan pemahaman yang dianutnya, dan mencoba mengutarakan buah hasil dari ilmu-ilmu alam yang telah didapatnya. Hal ini merupakan warisan dari sang legenda penyair tanah air dan bisa jadi pelajaran yang sangat berguna. Di awal tulisannya Chairil berpendapat “Sajak terbentuk dari kata-kata” ,”sebuah lukisan dari cat dan sehelai kain” namun bagi orang yang melihat keduanya tidak pernah mempertannyakan suatu karya (lukisan) dari kualitas cat ataupun kain sebagai sesuatu yang penting, dan utama tetapi adalah HASIL yang yang mereka cari! Dan hasil pun terdiri dalam bentuk dan isi. Namun “bentuk dan isi ini tidak hanya rapat berjalan sama, mereka gonta-ganti tutup menutupi.” Disinilah perasaan-perasaan si seniman harus menjadi bentuk dan “caranya menyata

TIGA DOA, TIGA ANGKATAN

TIGA DOA, TIGA ANGKATAN Dalam persajakan, tentu saja lingkungan, jaman, usia, latar belakang serta sudut pandang menjadi dasar inspirasi yang masuk kedalam hati, pikiran dan akhirnya tertuang dalam bentuk karya seni. Dalam bab ini saya hanya akan menuliskan tiga sajak sebagai perbandingan tiga penyair dalam tiga jaman dalam sajak yang berjudul sama. Profil Pernyair yang pertama Adalah Amir Hamzah yang merupakan Raja Angkatan Pujangga Baru. Dilahirkan di Tanjungpura Langkat Sumatra Utara, 28 februari 1911 dan meninggal pada 20 Maret 1946. beliau adalah seorang penyair Religius dan seorang keturunan bangsawan. Dan harus meningalkan tanah Jawa dan sekolahnya di fakultas Hukum yang hampir selesai, dan konon jusa seorang gadis yang dicintainya. Yang kedua adalah Chairil Anwar sendiri sebagai Pelopor Angkatan 45 dan yang ketiga adalah Taufik Ismail yang lahir pada tahun 1937 di bukittinggi tetapi besar di Pekalongan. Termasuk kedalam angkatan 66, sajak-sajaknya yang di tulis dengan

CHAIRILISME

Di Indonesia Chairil adalah penyairnya penyair, seorang penulis yang sejak tahun 1942 menyuburkan pertumbuhan dunia persajakan modern di Indonesia. Di sebut juga sebagai kelahirannya sastra Indonesia . Sebagai seorang penyair yang beraliran symbolis, Dengan penggunaan struktur yang ambigu dan kompleksitas membuat banyak karya-karyanya sulit di mengerti dan juga sarat pekat akan makna,hal ini juga pernah dibahas oleh A.H. Johns, dalam tulisannya “Chairil Anwar: An interpretation”, mendeskripsikan Chairil Anwar sebagai seniman yang berkepribadian lain. Arogan, eksentrik, terbakar dengan pemikiran daya hidup, menerjunkan diri tanpa sehelai keraguan. Bagi Chairil Anwar, standar, derajat dan strata sosial hanyalah pemisah ciptaan manusia. Yang tidak seharusnya mempengaruhi tingkatan rasa hormat, karena semua manusia itu sama Norma-norma sosial kehidupan adalah penguat dan pendukung kemunafikan, dan Chairil memilih untuk “menghancurkan diri sendiri” daripada menerima norma-norma. T