Langsung ke konten utama

TIGA DOA, TIGA ANGKATAN


TIGA DOA, TIGA ANGKATAN
Dalam persajakan, tentu saja lingkungan, jaman, usia, latar belakang serta sudut pandang menjadi dasar inspirasi yang masuk kedalam hati, pikiran dan akhirnya tertuang dalam bentuk karya seni. Dalam bab ini saya hanya akan menuliskan tiga sajak sebagai perbandingan tiga penyair dalam tiga jaman dalam sajak yang berjudul sama.
Profil Pernyair yang pertama Adalah Amir Hamzah yang merupakan Raja Angkatan Pujangga Baru. Dilahirkan di Tanjungpura Langkat Sumatra Utara, 28 februari 1911 dan meninggal pada 20 Maret 1946. beliau adalah seorang penyair Religius dan seorang keturunan bangsawan. Dan harus meningalkan tanah Jawa dan sekolahnya di fakultas Hukum yang hampir selesai, dan konon jusa seorang gadis yang dicintainya. Yang kedua adalah Chairil Anwar sendiri sebagai Pelopor Angkatan 45 dan yang ketiga adalah Taufik Ismail yang lahir pada tahun 1937 di bukittinggi tetapi besar di Pekalongan. Termasuk kedalam angkatan 66, sajak-sajaknya yang di tulis dengan nama samaran Nur Fadjar di umumkan dengan judul Tirani di tengah-tengah demonstrasi mahasiswa dan pelajar menyampaikan “Tritura” atau Tiga Tuntutan Rakyat (cat: 1. bubarkan PKI, 2. ritual kabinet Dwikora, 3. turunkan harga) Hal ini penting sebab dalam tulisannya Taufik lebih banyak hanya merupakan snapshot peristiwa-peristiwa tadi. Yang merekam setiap kejadian dalam bentuk sajak.
Lalu bagaimana dengan sajak Doa dari ketiga penyair itu, dari Raja Pujangga Baru, Pelopor Angkatan 45 dan Angkatan 66.

DOA
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita,
kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama
meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah
terik.
Angin malam menembus lemah, menyejuk badan,
melambung rasa menayang pikir, membawa angan ke
bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang
memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap
malam menyirak kelopak.
Aduh, kekasihmu, isi hatiku dengan katamu, penuhi
dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku
sendu, biar berbinar gelak rayu!
(Amir Hamzah)


DOA
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
(Chairil Anwar)


DOA
Tuhan kami
Telak nista kami dalam dosa bersama
Bertahun membangun kultus ini
Dalam pikiran yang ganda
Dan menutupi hati nurani
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
Tuhan kami
Telah terlalu mudah kami
Menggunakan asmaMu
Bertahun di negeri ini
Semoga Kau rela menerima kembali
Kami dalam barisanMu
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin.
(Taufik Ismail)
Bila di perhatikan, ketiganya sama-sama melakukan komunikasi tetapi Chairil dan Taufik lebih terkesan mengadu, dan memohon perlindungan serta ampunan dosa. sedangkan Amir Hamzah lebih menggambarkannya hal-hal indah saat melakukan komunikasi dan kedatangan rahmat dengan penggambaran keindahan duniawi. Karena mungkin Amir hidup dengan ketenangan jiwa dan dalam lingkungan rohani.
Lalu Chairil memohon ampunan pada Tuhan dan merasa dirinya berada di tempat asing dan ada perasaan spesimis dengan menggambarkan hanya “tinggal kerdip lilin” saja yang menerangi, namun tetap terus mencoba untuk memohon dan memanjatkan doa padaNya.dan “DipintuMu aku mengetuk” yang entah akan di buka atau tidak Sedangkan Taufik berbeda lagi, dia berdoa untuk banyak orang tidak seperti yang dua tadi berdoa secara individu. Dan Taufik pun berdoa untuk negerinya atas segala nista dan kekhilapan manusia yang telah lupa.
Disini bisa di tarik kesimpulan bahwa lingkungan serta pribadi si seniman dapat meracuni karyanya sendiri. Situasi politik, sosialisasi serta latar belakang penulis menjadi dasar terciptanya suatu pokok yang nantinya akan menjadi nilai bagi karya yang di tulisnya.dan saya tidak akan memilih siapa yang jelek atau yang bagus kerena masing-masing punya nilai-nilai dan dunianya sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membuat Sajak, Melihat Lukisan

BAB 3 MEMBUAT SAJAK, MELIHAT LUKISAN Dalam prosanya “Membuat Sajak, Melihat Lukisan”, Chairil mengajak kita untuk melihat keindahan dengan cara matanya melihat. Dan melihat nilai-nilai karya seni yang lebih bernilai dan indah dengan pemahaman yang dianutnya, dan mencoba mengutarakan buah hasil dari ilmu-ilmu alam yang telah didapatnya. Hal ini merupakan warisan dari sang legenda penyair tanah air dan bisa jadi pelajaran yang sangat berguna. Di awal tulisannya Chairil berpendapat “Sajak terbentuk dari kata-kata” ,”sebuah lukisan dari cat dan sehelai kain” namun bagi orang yang melihat keduanya tidak pernah mempertannyakan suatu karya (lukisan) dari kualitas cat ataupun kain sebagai sesuatu yang penting, dan utama tetapi adalah HASIL yang yang mereka cari! Dan hasil pun terdiri dalam bentuk dan isi. Namun “bentuk dan isi ini tidak hanya rapat berjalan sama, mereka gonta-ganti tutup menutupi.” Disinilah perasaan-perasaan si seniman harus menjadi bentuk dan “caranya menyata

CHAIRILISME

Di Indonesia Chairil adalah penyairnya penyair, seorang penulis yang sejak tahun 1942 menyuburkan pertumbuhan dunia persajakan modern di Indonesia. Di sebut juga sebagai kelahirannya sastra Indonesia . Sebagai seorang penyair yang beraliran symbolis, Dengan penggunaan struktur yang ambigu dan kompleksitas membuat banyak karya-karyanya sulit di mengerti dan juga sarat pekat akan makna,hal ini juga pernah dibahas oleh A.H. Johns, dalam tulisannya “Chairil Anwar: An interpretation”, mendeskripsikan Chairil Anwar sebagai seniman yang berkepribadian lain. Arogan, eksentrik, terbakar dengan pemikiran daya hidup, menerjunkan diri tanpa sehelai keraguan. Bagi Chairil Anwar, standar, derajat dan strata sosial hanyalah pemisah ciptaan manusia. Yang tidak seharusnya mempengaruhi tingkatan rasa hormat, karena semua manusia itu sama Norma-norma sosial kehidupan adalah penguat dan pendukung kemunafikan, dan Chairil memilih untuk “menghancurkan diri sendiri” daripada menerima norma-norma. T