Langsung ke konten utama

pembicaraan sajak-sajak Chairil Anwar


BAB 1
PEMBICARAAN SAJAK-SAJAK
CHAIRIL ANWAR

Beberapa sajak Chairil Anwar mengalami satu hal yang hingga saat ini belum tuntas di bicarakan. Sebagian sajaknya dalam beberapa versi sebagaimana nampak dalam Deru Campur Debu, Kerikil Tajam dan Yang Terhempas Dan Yang Putus, Tiga Menguak Takdir, Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45 dan Kesusastraan Indonesia Dimasa Jepang. Kita ambil contoh sajak “Aku” versi Deru Campur Debu dan dalam Kerikil Tajam dan Yang Terhempas Dan Yang Putus berjudul “Semangat”. Di bait pertama sajaknya “Aku” berbunyi:
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Sedangkan versi Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus, sajak itu diawali dengan :
Kalau sampai waktuku
Kutahu tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu!
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan terbuang
Hingga hilang pedih dan peri.
Perhatikan kaya ‘ku mau’ dan ‘ku tahu’ kedua versi tersebut . selanjutnya perhatikan pula sajak “Hampa” berikut ini. Menurut versi Deru Campur Debu;
Sepi diluar. Sepi menekan- mendesak,
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak,
Sampai kepuncak, sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-regut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik,
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik,
ini sepi terus ada. Dan menanti.
Sedangkan menurut versi ‘Kerikil Tajam dan Yang Terhempas Dan yang Terputus’, sajak dengan judul yang sama ini berbunyi;
Sepi di luar, sepi menekan-mendesak,
Lurus-kaku pohonan. Tak bergerak,
Sampai kepuncak,
Sepi memagut
Tak satu kuasa-berani melepas diri
Segala menanti. Menanti-menanti.
Sepi.
Dan ini menanti penghabisan memcekik
Memberat-mencekung punda
Udara bertuba
Rontok-gugur segala. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.
H.B. Jassin pernah mengatakan bahwa kata-kata dan tanda baca yang berbeda dalam sajak Chairil Anwar adalah salah kutip atau salah cetak dan salah tik. Akan tetapi, jika kita amati kedua versi ‘Hampa’ diatas, tentu timbul pertanyaan: Betulkah perubahan redaksi sajak itu hanya karena salah kutip, salah cetak atau salah tik belaka? Apalagi kalau kita perhatikan bahwa perubahan redaksi sajak Chairil Anwar bukan hanya menyangkut perubahan kata atau tanda baca, melainkan juga menyangkut perubahan (penghilangan) bait, seperti dalam sajaknya yang berjudul “Sajak Putih” versi Tiga Menguak Takdir yang berbunyi :
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...

Akan tetapi, “Sajak Putih” yang ditulis Chairil diatas sepucuk kartu pos terdiri dari empat bait. Dengan kata lain ada satu bait yang hilang (atau dihilangkan) dalam “Sajak putih” versi Tiga Menguak Takdir tadi, bait itu Adalah;
Buat Miratku, Ratuku! Kubentuk dunia sendiri
Dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini
Kucuplah aku terus, kucuplah
Dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku
Pertanyaan kita disini adalah siapa yang menghilangkan bait terakhir ini? Pengarangyakah? Atau penerbit buku Tiga Menguak Takdir (balai Pustaka)?
Tetapi sebuah catatan lain H.B Jassin memberikan pernyataan bahwa memang Chairil amatlah teliti dan selalu melakukan koreksi pada sajak-sajaknya termasuk berani mengkoreksi sajak yang telah di publikasikan.
Beberapa sajak di bawah ini yang saya himpun dari bermacam versi, judul, dan dua buah sajak yang di gabung menjadi satu judul. Antara lain;
SIA-SIA
Penghabisan kali itu kau datang
membawa karangan kembang
Mawar merah dan melati putih :
darah dan suci.
serta pandangan yang memastikan : Untukmu.
Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya : Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
(versi Deru Campur Debu)
SIA-SIA
Penghabisan kali itu kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan suci
Kau tebarkan depan ku
Serta pandangan yang memastikan : untukmu.
Lalu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti
Sehari kita bersama. Tak hamper-menghampiri
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
(versi Kerikil Tajam dan Yang terhempas Dan Yang Putus)
KAWANKU DAN AKU
Kami sama pejalan larut
Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan
Darahku pekat. Aku tumpat pedat
Siapa berkata-kata…?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga
Dia bertanya jam berapa?
Sudah larut sekali
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak tak punya arti.
(versi Deru Campur Debu)
KAWANKU DAN AKU
Kepada L. K. Bohang
Kami jalan sama. Sudah larut
Menembus kabut.
Hujan mengucur badan.
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.
Darahku mengental-pekat. Aku tumpat-pedat.
Siapa berkata?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga.
Dia bertanya jam berapa!
Sudah larut sekali
Hingga hilang segala makna
Dan gerak tak punya arti
(versi Kerikil Tajam dan Yang terhempas Dan Yang Putus)
SELAMAT TINGGAL
Perempuan…
Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru menderu
-dalam hatiku?-
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah…!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal
Selamat tinggal…!!!
SELAMAT TINGGAL
Aku berkaca
Bukan buat kepesta
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru-menderu
-dalam hatiku?-
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah…!!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal…
Selamat tinggal…!!!
(versi Kerikil Tajam dan Yang terhempas Dan Yang Putus)
Dan untuk sajak yang satu ini hampir sama dengan sajak yang berjudul sajak putih hanya saja ini adalah dua buah sajak yang menjadi satu judul.
SORGA
Buat Basuki Resobowo
Seperti ibu + neneku juga
Tambah tujuh keturunan yang lalu
Aku minta pula supaya sampai di sorga
Yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu
Dan bertabur bidari beribu
Tapi ada suara menimbang dalam diriku,
nekat mencemooh: Bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru,
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
disitu memang ada bidari
suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?
(versi Deru Campur Debu)
SAJAK BUAT BASUKI RESOBOWO
Adakah jauh perjalanan ini?
Cuma selenggang!-Coba kalau bisa lebih!
Lantas bagaimana?
Pada daun gugur tanya sendiri,
Dan sama lagu melembut jadi melodi!
Apa tinggal jadi tanda mata?
Lihat pada betina tidak lagi menengadah
Atau bayu sayu, binatang menghilang!
Lagi jalan ini berapa lama?
Boleh seabad… aduh sekerdip saja!
Perjalanan karna apa?
Tanya rumah asal yang bisu!
Keturunanku yang beku disitu!
Ada yang menggamit?
Ada yang kehilangan?
Ah! Jawab sendiri! – aku terus gelandangan…
(versi Tiga Menguak Takdir)
Perhatikan sajak dibawah ini!
DUA SAJAK BUAT BASUKI RESOBOWO
I
Adakah jauh perjalanan ini?
Cuma selenggang! - Coba kalau bisa lebih!
Lantas bagaimana?
Pada daun gugur Tanya sendiri,
Dan sama lagu melembut jadi melodi!
Apa tinggal jadi tanda mata?
Lihat pada betina tidak lagi menengadah
Atau bayu sayu, binatang menghilang!
Lagi jalan ini berapa lama?
Boleh seabad… aduh sekerdip saja!
Perjalanan karma apa?
Tanya rumah asal yang bisu!
Keturunanku yang beku disitu!
Ada yang menggamit?
Ada yang kehilangan?
Ah! Jawab sendiri! – aku terus gelandangan…
II
Seperti ibu + neneku juga
Tambah tujuh keturunan yang lalu
Aku minta pula supaya sampai di sorga
Yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu
Dan bertabur bidari beribu
Tapi ada suara menimbang dalam diriku,
nekat mencemooh: Bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru,
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
disitu memang ada bidari
suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?
(versi Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membuat Sajak, Melihat Lukisan

BAB 3 MEMBUAT SAJAK, MELIHAT LUKISAN Dalam prosanya “Membuat Sajak, Melihat Lukisan”, Chairil mengajak kita untuk melihat keindahan dengan cara matanya melihat. Dan melihat nilai-nilai karya seni yang lebih bernilai dan indah dengan pemahaman yang dianutnya, dan mencoba mengutarakan buah hasil dari ilmu-ilmu alam yang telah didapatnya. Hal ini merupakan warisan dari sang legenda penyair tanah air dan bisa jadi pelajaran yang sangat berguna. Di awal tulisannya Chairil berpendapat “Sajak terbentuk dari kata-kata” ,”sebuah lukisan dari cat dan sehelai kain” namun bagi orang yang melihat keduanya tidak pernah mempertannyakan suatu karya (lukisan) dari kualitas cat ataupun kain sebagai sesuatu yang penting, dan utama tetapi adalah HASIL yang yang mereka cari! Dan hasil pun terdiri dalam bentuk dan isi. Namun “bentuk dan isi ini tidak hanya rapat berjalan sama, mereka gonta-ganti tutup menutupi.” Disinilah perasaan-perasaan si seniman harus menjadi bentuk dan “caranya menyata

TIGA DOA, TIGA ANGKATAN

TIGA DOA, TIGA ANGKATAN Dalam persajakan, tentu saja lingkungan, jaman, usia, latar belakang serta sudut pandang menjadi dasar inspirasi yang masuk kedalam hati, pikiran dan akhirnya tertuang dalam bentuk karya seni. Dalam bab ini saya hanya akan menuliskan tiga sajak sebagai perbandingan tiga penyair dalam tiga jaman dalam sajak yang berjudul sama. Profil Pernyair yang pertama Adalah Amir Hamzah yang merupakan Raja Angkatan Pujangga Baru. Dilahirkan di Tanjungpura Langkat Sumatra Utara, 28 februari 1911 dan meninggal pada 20 Maret 1946. beliau adalah seorang penyair Religius dan seorang keturunan bangsawan. Dan harus meningalkan tanah Jawa dan sekolahnya di fakultas Hukum yang hampir selesai, dan konon jusa seorang gadis yang dicintainya. Yang kedua adalah Chairil Anwar sendiri sebagai Pelopor Angkatan 45 dan yang ketiga adalah Taufik Ismail yang lahir pada tahun 1937 di bukittinggi tetapi besar di Pekalongan. Termasuk kedalam angkatan 66, sajak-sajaknya yang di tulis dengan

CHAIRILISME

Di Indonesia Chairil adalah penyairnya penyair, seorang penulis yang sejak tahun 1942 menyuburkan pertumbuhan dunia persajakan modern di Indonesia. Di sebut juga sebagai kelahirannya sastra Indonesia . Sebagai seorang penyair yang beraliran symbolis, Dengan penggunaan struktur yang ambigu dan kompleksitas membuat banyak karya-karyanya sulit di mengerti dan juga sarat pekat akan makna,hal ini juga pernah dibahas oleh A.H. Johns, dalam tulisannya “Chairil Anwar: An interpretation”, mendeskripsikan Chairil Anwar sebagai seniman yang berkepribadian lain. Arogan, eksentrik, terbakar dengan pemikiran daya hidup, menerjunkan diri tanpa sehelai keraguan. Bagi Chairil Anwar, standar, derajat dan strata sosial hanyalah pemisah ciptaan manusia. Yang tidak seharusnya mempengaruhi tingkatan rasa hormat, karena semua manusia itu sama Norma-norma sosial kehidupan adalah penguat dan pendukung kemunafikan, dan Chairil memilih untuk “menghancurkan diri sendiri” daripada menerima norma-norma. T